Senyum Indonesia

Hari ini timeline gue di twitter seru!

Ada beberapa kejadian di Jakarta hari ini :
1. Kerusuhan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (katanya sih karena sidang lanjutan penembakan di Blowfish).
2. Q! Film Festival di-demo oleh mahasiswa UI.

Okay.

Konon selama ini kita selalu jualan ke luar negri :
INDONESIA itu RAMAH.
INDONESIA MURAH SENYUM.

Tapi dengan kejadian hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dimana orang main bacok orang, bakar-bakar bus, bikin macet jalan sekeliling lokasi....

wah false advertising nih!

Gue sendiri gak tau duduk perkaranya. Tapi terlepas dari apapun itu, harus seperti itukah resultnya? Bunuh-bunuhan? Bakar-bakaran? After that what? Apa yang di dapet?

Untuk orang yang membacok dan membunuh itu...pernah berpikir gak ya nasib orang-orang yang ditinggalkan oleh orang yang dia bunuh?
Obviously NOT!
Karena jika dia bisa berpikir, maka hal itu gak perlu dan gak akan terjadi.

Let's just say bahwa hasil dari pengadilan itu ternyata tidak sesuai harapan? Ada cara-cara yang bisa ditempuh selain melakukan aksi anarki dan barbar macam itu kan?

Then again, gue rasa kita gak bisa melihat dari satu faktor saja. Karena ada beberapa faktor yang pada akhirnya membuat hal seperti ini (terus) terjadi di Indonesia. Faktor pendidikan, ketegasan pemerintah terhadap hukum dan sebagainya.
Tapi, menurut gue, hal yang paling mendasar adalah (mungkin) akhlak manusia Indonesia sendiri sudah semakin gak bener (jika dirasa menggunakan kata 'bobrok' terlalu ofensif).

--- ---- ------ $$$ $$$ $$$ ----- ---- ---

Untuk Q!FF, konon katanya yang demo adalah anak UI. Which surprises me, a lot. Gue pikir dengan mereka kuliah di universitas ternama, mereka diajarkan untuk menerima perbedaan. Perbedaan di sini yah segala jenis perbedaan lho ya. Lintas suku, agama, ras, antar golongan maupun sexual preferences.

Selama ini gue berpikir bahwa kaum akademisi, cieh..ketinggian ah bahasanya...mahasiswa yang berhasil lulus ujian masuk UI itu pinter-pinter dan open-minded.
Kenapa gue berpikir demikian? Yah iya donk...wong tujuan masuk UI (baca : universitas atau institusi pendidikan manapun) itu kan untuk membuka jendela dunia kan? Supaya jadi pinter dan tau segala hal. Berarti, siapapun itu maka dia siap belajar menerima kenyataan bahwa ada hal-hal di luar lingkungannya selama ini, sebagai suatu situasi maupun kondisi yang berbeda sama sekali. Baik itu dalam urusan nilai-nilai sosial maupun tata krama dan adat istiadat.

Tapi, dengan kejadian demo di Q!FF, gue jadi mempertanyakan keberadaan mahasiswa-mahasiswi yang ikutan demo di situ.
1. Apakah mereka memahami dengan bener apa yang ada di Festival tersebut?

2. Apakah rekan sejawat mereka gak ada yang LGBT juga?

3. Apakah mereka mempunyai kapasitas untuk menilai bahwa keberadaan festival ini akan membuat penontonnya (baca : peserta) bakal berubah convert menjadi kaum LGBT?

4. Emangnya mereka hari ini gak ada kuliah?

5. Lebih penting demo ngurusin hidup orang lain daripada menimba ilmu di kampus?

6. Last but not least, do they have the capacity to judge other people as if they're cleanse from all sins?



Pijet Pijat

Gue suka pijet! Abis stressful day in the office, trus pijet, hmmm pulang ke rumah rasanya enteng.

Kadang gue suka nanya ama diri gue sendiri mengenai pekerjaan mereka sebagai pemijat.

  • Whether are they ashamed of what they do for living?
  • Whether is it their choice for a profession?
  • Can they proudly say out-loud to other people that they are working as masseurs?

For me, terlepas dari mereka adalah pemijat beneran atau pemijat plus-plus, it is still a profession. Regardless apapun juga.

Buat gue, tanpa mereka, gak akan ada yang mau mijit kita untuk ngilangin rasa capek kerja seminggu, atau pegel-pegel karena keseleo atau kecekluk….

Suka gak suka, sadar gak sadar, mereka ini sedikit banyak berjasa lho buat kita. Walaupun mungkin banyak dari kita yang seringkali memandang sebelah mata untuk profesi ini. Kebanyakan dari kita cenderung ngeliat profesi sebagai pemijat itu adalah hal yang negatif.

Considering dari apa yang banyak terjadi, yah gue rasa cukup wajar jika kemudian profesi ini dipandang negatif. Tapi, jangan lupa kadang kita sendiri juga sebagai konsumen yang akhirnya membuat pandangan negatif itu menjadi ada. Contohnya yah ada beberapa bapak-bapak misalnya yang emang suka minta dikasih service extra. Atau ibu-ibu yang keganjenan yang doyan dipijet ama laki-laki muda ganteng dan brotot. Therefore, like any other thing in life, we ourselves takes our part in creating some point of view towards something.

In this case, can we blame them who choose to be a masseur in the first place?

Should we start to give more credit towards this profession? I meant in professional term. :-)