
*sigh*
Tidak ada pikiran yang terbuang percuma. Semua pikiran berguna bagi kehidupan. Sekecil apapun bentuk kontribusinya, membawa arti tersendiri dalam hidup. Apalagi sebuah senyuman.
Gue suka pijet! Abis stressful day in the office, trus pijet, hmmm pulang ke rumah rasanya enteng.
Kadang gue suka nanya ama diri gue sendiri mengenai pekerjaan mereka sebagai pemijat.
For me, terlepas dari mereka adalah pemijat beneran atau pemijat plus-plus, it is still a profession. Regardless apapun juga.
Buat gue, tanpa mereka, gak akan ada yang mau mijit kita untuk ngilangin rasa capek kerja seminggu, atau pegel-pegel karena keseleo atau kecekluk….
Suka gak suka, sadar gak sadar, mereka ini sedikit banyak berjasa lho buat kita. Walaupun mungkin banyak dari kita yang seringkali memandang sebelah mata untuk profesi ini. Kebanyakan dari kita cenderung ngeliat profesi sebagai pemijat itu adalah hal yang negatif.
Considering dari apa yang banyak terjadi, yah gue rasa cukup wajar jika kemudian profesi ini dipandang negatif. Tapi, jangan lupa kadang kita sendiri juga sebagai konsumen yang akhirnya membuat pandangan negatif itu menjadi ada. Contohnya yah ada beberapa bapak-bapak misalnya yang emang suka minta dikasih service extra. Atau ibu-ibu yang keganjenan yang doyan dipijet ama laki-laki muda ganteng dan brotot. Therefore, like any other thing in life, we ourselves takes our part in creating some point of view towards something.
In this case, can we blame them who choose to be a masseur in the first place?
Should we start to give more credit towards this profession? I meant in professional term. :-)
Tapi, diantara semua bentuk cinta-cintaan...buat saya ada satu bentuk yang paling buruk. Mencintai seseorang sebelah tangan.
Yup...setidaknya hal itu berlaku untuk saya. ;)
Ada sebuah kutukan kurasa di keluarga saya. Kutukan itu membuat kita semua; jika sudah kadung cinta ama seseorang, biarpun sebrengsek apapun orang itu; biarpun bertepuk sebelah tangan ...kita tetap akan mencintai orang itu walaupun rasanya sakit.
Kontradiktif memang! Pertanyaan saya adalah : apakah yang namanya cinta harus disertai dengan rasa sakit? Bukannya cinta itu adalah energi positif yang seharusnya bisa menghilangkan rasa benci ataupun sakit?
Well..reality does bite. Life is all about balance. Love and hate. Pain and joy. Semua saling terkait satu sama lain. Ibaratnya rantai DNA. Itulah yang menjadikannya hidup. Itu semua datang dalam satu paket.
Saya mencintai orang yang sama selama hampir 4 tahun. Dan sejujurnya saya tidak pernah benar-benar ngelupain dia. Seperti yang sudah bisa ditebak jalan ceritanya ...dia tidak punya perasaan yang sama seperti yang saya miliki. Jadi...bertepuk sebelah tangan lah akhirnya.
Setelahnya saya akhirnya memulai beberapa hubungan yang rata-rata hanya berlangsung selama 1 tahun. Rata-rata karena apa yang saya inginkan dan yang mereka mau, tidak berada dalam platform yang sama. So, we've ended.
Menyesal? Sama sekali tidak.
Karena setiap kejadian justru membuat saya semakin tau dan belajar tindakan preventif untuk mencegah hal yg tidak diinginkan terjadi untuk kesekian kalinya.
Walaupun ada harga yang harus dibayar untuk itu : perasaan cinta yang tulus tanpa ada pretensi ataupun kecurigaan, cenderung hilang.
Mungkin saat-saat ini ada seseorang yang secara tulus mencintai saya tapi ....saya mungkin menjadi sosok yang cenderung cuek dan justru tidak menghargai segala effortnya.
Jadi saat ini saya pikir : mencintai seseorang (saat ini) ternyata adalah ide yang buruk. Setidaknya selama saya masi dalam kondisi siaga 1.... :)
Sekarang, aku sendiri. Single. Singleton. Alone.
Sedih? Hmm...not really.
Sent from NdolBerry®
![]() |
writer at tidung island, thousand islands. |